Perpolitikan Indonesia kini sedang manghadapi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa oleh apa yang disebut para ahli politik sebagai fenomena Populisme yang menjadi paradoks pada demokrasi di era Post-Truth. Menurut Allan Knight, populisme merupakan gaya politik yang memperlihatkan seorang tokoh populis seolah olah dekat dengan rakyat dan memperjuangkan penderitaan rakyat, dengan mengangkat wacana atau narasi populis yang berupaya menyentuh hal hal bersifat sentimental dalam masyarakat. Selain itu Kurt Weyland berpendapat bahwa populisme adalah strategi politik para pemimpin populis untuk mencapai kekuasaan dengan melakukan kontak langsung dengan masyarakat (Masni & Sianipar, 2019).
Fenomena populisme di indonesia tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang bisa, sebab dengan kondisi masyarakat indonesia yang plural adanya fenomena populisme yang bersifat anti-pluralisme ini sangat berbahaya untuk proses demokratisasi. Sebab dalam populisme, para pemimpin populis berupaya menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental bagi masyarakat mayoritas. Untuk konteks Indonesia, isu populisme yang diangkat tentu sesuatu yang dekat dengan golongan mayoritas yakni populisme islam, sehingga hal ini tentu dapat memicu konflik bahkan mengancam integrasi dalam masyarakat Indonesia. Kita bisa menyaksikan bukti adanya populisme islam di indonesia dengan menganalisa kasus yang dihadapi mantan Gubernur Jakarta yakni Ahok.
Dunia masa kini berada dalam era Post-Truth, yakni era dimana kebohongan menjadi seni dalam mengguncang fondasi demokrasi (d’Ancona, 2017). Secara sederhana, post-truth merujuk pada suatu kondisi dimana fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan kepercayaan pribadi atau emosi subjektif (Oxford Dictionary, t,t). Post-Truth dalam konteks ini merupakan situasi dimana kebenaran tidak lagi dinilai dengan bersumber pada kebenaran secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Melainkan bersumber pada trend atau seberapa banyak orang mengatakan hal tersebut. Kuantitas orang dalam berbicara mengenai suatu hal, maka secara mentah-mentah akan dianggap sebagai kebenaran di era post-truth ini. Hal ini menjadikan kaum populis memanfaatkan situasi ini untuk menggunakan “politik post-truth” dalam menggiring opini publik melalui propaganda. Ketika politik menjadi sangat menjual dan didominasi oleh televisi, keberadaan fakta dalam debat publik meningkat sangat tinggi. Sebagaimana pun fakta ditunjukkan melalui statistik dan pendapat para ahli yang mampu meluruskan kebohongan itu, pada kenyataannya fakta menjadi salah satu senjata retorika utama di dalam berbagai perdebatan politik di era post-truth (Davis, 2016).
Pada panggung demokrasi, populisme dan post-truth pun digunakan secara maksimal untuk memproduksi kebohongan dan menggiring opini publik secara masif. Masyarakat publik mendengarkan apa yang ingin mereka dengarkan. Karenanya, banyak kaum yang menggunakan kesempatan ini untuk merekonstruksi kebohongan sebagai kebenaran. Panggung demokrasi yang begitu bebas telah melahirkan fenomena populisme yang kini telah marak terjadi di Indonesia. Dunia yang telah memasuki era modern dengan segala arus yang dibawanya kemudian telah memberi ruang para kaum populis untuk semakin gencar melaksanakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran melalui media yang lebih luas dan lebih bebas. Kemunculan media dalam era modern ini juga turut memberi kesempatan menjamurnya kaum populis di Indonesia.
Keberadaan sosial media dimanfaatkan kaum populis untuk melancarkan black campaign melalui cyber attack dalam bentuk perang tagar atau hashtag seperti #2019GantiPresiden. Rasionalitas dan adu gagasan tentang program kerja seakan tidak lagi dipertimbangkan dalam menentukan pilihan politik. Masyarakat luas yang tidak paham akan sebuah kebohongan akan dengan mudah tergiring melalui apa yang mereka lihat di internet. Kebohongan akan dipahami sebagai kebenaran akibat banyaknya kuantitas dari sebuah hashtag dan tagar yang tersebar di internet. Ancaman populisme terhadap persatuan bangsa tidak bisa kita anggap remeh, bahwa ancaman tersebut sudah bisa kita lihat pada pristiwa pristiwa seperti Gerakan 212 dimana wacana yang dibangun sangat tidak menjunjung pluralisme di Indonesia. Agama menjadi narasi bagi kaum populis untuk menyentuh sentiment masyarakat, maka polarisasi terhadap pendukung salah satu paslon tidak dapat terhindarkan, yang kapan saja dapat memicu konflik horizontal dalam masyarakat.
____________________
Daftar Pustaka
Masni, I., & Sianipar, J. (2019). Strategi Pemimpin Populis Baru Indonesia Mencapai Kekuasaan, 17–32.
d'Ancona, Matthew. 2017. Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back. [Online]tersedia dalam https://bit.ly/2PCMvVK. diakses pada 21 Maret 2019.
Davies, William. 2016. “The Age of Post-Truth Politics”. New York: New York Times.
コメント