Hari ini, Selasa tanggal 2 Mei 2023 adalah Hari Pendidikan Nasional, di mana bisa kita manfaatkan untuk selalu mengingat bahwa pentingnya pendidikan dan menjaga marwah pendidikan itu sendiri sebagai dasar kemajuan bangsa Indonesia sekarang dan untuk masa depan. Penulis ingin memperingati Hari Pendidikan Nasional kali ini dengan membahas soal pendidikan dan juga politik, yang mana banyak masyarakat Indonesia mungkin berpendapat bahwasannya kedua hal ini harus dipisahkan. Tapi, apakah memang demikian?
Menelaah Kembali Apa itu Politik dan Pendidikan
Siapa sih yang ga tau apa itu politik? Menurut Miriam Budiardjo dan juga Deliar Noer, politik bisa dikatakan sebagai segala aktivitas untuk mempengaruhi, mengubah, mempertahankan, ataupun proses penentu dalam sebuah pelaksanaan terhadap tujuan dalam suatu negara yang berkaitan erat dengan kekuasaan (Sadzali, 2018 dalam Lamadang, dkk, 2022). Intinya, politik juga bisa dikatakan usaha kita sebagai warga negara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (tujuan suatu negara). Secara definisi saja, politik memiliki artian yang sangat baik untuk kesejahteraan dan tujuan hidup suatu masyarakat.
Sedangkan, pendidikan secara sederhana bisa kita definisikan sebagai suatu usaha berupa proses pembelajaran dan mewujudkan suasana belajar untuk meningkatkan potensi manusia (peserta didik), baik itu potensi spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan oleh dirinya dan juga masyarakat (BP, dkk, 2022).
Secara definisi, kedua poin yang dibahas di atas (politik dan pendidikan) sama-sama punya pengertian yang positif untuk membangun masyarakat yang maju. Namun, mengapa kita (khususnya di Indonesia) masih beranggapan bahwasannya pendidikan dan juga politik harus dipisahkan?
Benarkah Politik dan Pendidikan Harus Dipisahkan?
Menurut penulis, politik dan pendidikan sebenarnya (dan mengacu kepada definisi singkat di atas) adalah dua hal yang tidak perlu dipisahkan dan harus berkorelasi satu sama lain. Di satu sisi, politik memunculkan suatu cita-cita sebuah bangsa yang tentunya bisa membuat suatu negara memiliki keinginan untuk maju dan berkembang. Di sisi lain, pendidikan di sini berupaya mendorong cita-cita yang diwujudkan dari hasil politik tadi.
Ya, memang seharusnya demikian.
Namun, mungkin kita yang hidup di negara multikultur dan menganut sistem demokrasi punya tantangan sendiri. Sehingga, masyarakat kita tentu beranggapan bahwa politik dan pendidikan harus dipisahkan. Memangnya, apa sih tantangannya?
Apabila pembaca dari tulisan ini mengambil studi ilmu politik, pemerintahan, ataupun ilmu sosial yang serupa pasti memahami bahwa kondisi politik di negara multikultural dan masyarakat yang heterogen — seperti di Indonesia ini — serta menganut sistem demokrasi akan mengalami tantangan dalam mewujudkan konsensus politik. Banyaknya kepentingan dari berbagai golongan membuat Indonesia sering mengalami kesulitan untuk membentuk dan mencapai satu tujuan bersama, dan ini juga bisa terjadi di bidang pendidikan. Banyaknya perbedaan kepentingan yang muncul, dan apabila kepentingan-kepentingan tersebut “bersamaan” mengintervensi lingkup pendidikan, maka cita-cita dari pendidikan itu sendiri tidak bisa mengakomodir kepentingan secara bersama dan pada akhirnya akan menghambat perkembangan sistem pendidikan itu sendiri.
Selain adanya kepentingan-kepentingan di ranah akar rumput, sistem pendidikan di Indonesia memiliki ancaman dari hadirnya kepentingan para elite politik atau oligarki yang mungkin tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat secara luas. Kasus-kasus seperti legislasi perundang-undangan yang dianggap tidak melibatkan masyarakat secara luas dan menampilkan bahwa segala sesuatu di negara ini dengan mudah di kontrol oleh para oligarki, menjadi ancaman luar biasa apabila sudah mengintervensi ranah pendidikan. Apa yang akan terjadi jika pendidikan yang menjadi tonggak kemajuan suatu bangsa dan harus menggapai cita-cita bersama dikontrol oleh segelintir orang yang tidak merepresentasikan masyarakat secara luas? Coba bayangkan saja sendiri.
Perlu dipisahkan?
Menurut penulis, untuk jangka yang lebih pendek memang pendidikan kita lebih baik “dipisahkan” dari lingkup politik agar marwah pendidikan tetap terjaga murni. Namun, untuk jangka yang lebih panjang, politik dan pendidikan ini harus dielaborasikan. Sebagai contoh, negara-negara yang memiliki kondisi masyarakat yang homogen dan maju seperti Tiongkok, Korea Selatan, atau Jerman bisa memiliki kualitas pendidikan yang maju karena dinilai sudah selaras dengan cita-cita atau minimal dengan kebutuhan utama negaranya. Politik pendidikan negara-negara tersebut berhasil membuat kebijakan sesuai dengan kebutuhannya (Slamet, 2014 dalam Lamadang, dkk, 2022). Sebagai contoh, salah satu penelitian menyebutkan pada rentang tahun 2004-2013, pada tahun 2010-2011 menjadi puncak pengembangan kebijakan pendidikan di China dan konsisten dengan pola pengembangan sosial-ekonomi dan politik China pada saat itu.
Memang, untuk membentuk suatu konsensus di negara yang kaya akan perbedaan seperti di Indonesia ini memiliki daya juang lebih dan tentu memakan waktu yang sangat lama. Win-win solution-nya adalah kita tetap kembali tunduk kepada suara mayoritas ke mana sistem pendidikan ini akan dikembangkan dan di bawa. Suara mayoritas ini haruslah suara mayoritas sesungguhnya ya, bukan suara segelintir orang yang mengklaim itu adalah suara mayoritas.
Kalau menurut Sobat Tepol, bagaimana soal opini ini? Tulis pendapatnya di kolom komentar ya!
Referensi
BP, Abd Rahman, dkk. 2022. Pengertian Pendidikan, Ilmu Pendidikan, dan Unsur-Unsur Pendidikan. Vol. 2 No. 1.
Kymlicka, Will dan Raphael Cohenalmagor. 2005. Democracy and Multiculturalism.
Lamadang, Karmila P, dkk. 2022. Isu dan Kebijakan Global Politisasi Pendidikan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Holistik (JPH). Vol. 1 No. 2.
Li, Jun, dan Jian Li. 2019. Educational Policy Development in China in the 21st Century: A Multi-Flows Approach. Beijing International Review of Education. Vol. 1 No. 1.
Reilly, Benjamin. 2006. Political Engineering and Party Politics in Conflict-Prone Societies. Democratization. Vol. 13 No. 5.
Comments