top of page
Bunga Septiana Lestari

Kekerasan Seksual di Pesantren: Menelisik Hubungan Kekuasaan dan Kekerasan Seksual di Pesantren


Ilustrasi Kekerasan Seksual (Sumber : Vecteezy)
Ilustrasi Kekerasan Seksual (Sumber : Vecteezy)

Pesantren Malah Jadi Media “Penyalur Nafsu”?

Dalam UUD 1945, Indonesia berkomitmen bahwa anak-anak mendapatkan pengakuan dan hak perlindungan yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2). Namun, dalam realisasinya, di Indonesia masih marak terjadi kasus kekerasan seksual pada anak. Bahkan kasus kasus tersebut kerap terjadi di institusi pendidikan seperti pesantren. Seharusnya pesantren menjadi wadah anak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan berbasis Islam malah dipergunakan yang berkuasa untuk memanfaatkan keadaan dengan melakukan kekerasan seksual terhadap santri. Menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di Pesantren menempati posisi kedua setelah perguruan tinggi selama tahun 2015-2020 (BRIN, 2022).


Relasi Kuasa Menjadi Masalah Utama

Viralnya kasus kekerasan seksual di pesantren membawa dampak negatif stigma masyarakat terhadap institusi pendidikan Islam itu sendiri. Menelisik kasus kekerasan seksual di Pesantren dalam kaitannya dengan teori kekuasaan sangat berhubungan. Seperti kasus pelecehan Moch Subchi Azal Tzani (MSAT) sebagai anak pimpinan pondok pesantren yang melakukan aksi cabul terhadap santrinya yang belajar di Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur. Hal ini membuktikan bagaimana adanya relasi kuasa baik dari posisi pesantren sebagai salah satu poros kekuasaan keagamaan dalam masyarakat maupun dalam relasi pimpinan/kiai dan santri yang berhubungan erat. Dalam perspektif Gramscian, relasi kuasa ini membentuk pengetahuan yang hegemonik yang kemudian menjadi politik budaya dominatif. Posisi pesantren yang dipandang sebagai salah satu historical block dalam masyarakat Jawa dimana kaum priyayi memiliki kuasa atas kaum abangan yang punya posisi lemah. Secara politik, ada hubungan dominatif antara kiai dan santri. Para kiai bukan hanya dipandang sebagai guru agama, tetapi juga sumber spiritualitas dan standar moral. (Kemal, 2022). Hal tersebut yang membuktikan kuatnya kekuasaan kiai terhadap santrinya sehingga dapat melakukan tindakan kekerasan seksual karena santri merasa tidak punya kuasa atas hal tersebut dalam artian melakukan pembantahan dan sebagainya.

Sementara itu, sempat terjadi kasus pelecehan seksual pula di Banyuwangi oleh pengasuh ponpes terhadap 6 santrinya. Pengasuh tersebut ialah KH. Fauzah S.Pd, MM yang menjadi tersangka sekaligus seorang politisi dari partai politik PPP (Huda, 2022). Hal tersebut dapat ditelisik menggunakan teori kekuasaan yang dibawa oleh Michel Foucault yang membahas bagaimana berfungsinya kuasa dalam suatu bidang tertentu. Dalam lingkungan sosial atau lembaga tertutup seperti pondok pesantren umumnya selalu ada pihak yang harus tunduk bahkan tidak berdaya. Menurut pandangannya, kekuasaan di Institusi sosial yang kaku menerapkan konsep panopticon. Konsep ini bermaksud bagaimana strategi kuasa bekerja dan mengembangkan pengawasan dengan cara membatasi ruang gerak dan perilaku yang tersubordinasi (Suyanto, 2022). Didorong dengan hasrat dan syahwat pimpinan atau pengasuh ponpes apalagi memiliki kuasa atas partai politiknya, bukan tidak mungkin para santri menjadi korban pelecehan seksual atau aksi cabul.

Aktor yang paling berpegaruh dalam kasus pelecehan seksual di pondok Pesantren adalah pimpinan pondok yang mempunyai nafsu berlebihan terhadap santrinya. Padahal yang kita tahu, santri sudah berpakaian selayaknya wanita solehah yang tidak mengundang syahwat para lelaki apalagi pimpinan pondok. Dalam hal ini, kiai atau pimpinan pondok mempunyai kuasa karena mempunyai potensial atau yang disebut kekuasaan potensial karena gelar tersebut diberikan masyarakat hanya untuk orang yang mempunyai kealiman dan sifat kebaikannya yang membuat para santri “takut” atau hormat dan tunduk pada sang kiai (Baskhoro, 2021). Hal tersebut membuktikan bahwa adanya kekuasaan yang bekerja antara kiai atau pimpinan pihak pesantren dengan santri yang membuat santri harus berbuat seperti yang diinginkan kiai.


Sumber:

Baskhoro, 2021. Relasi Kuasa Kiai Terhadap Santri di Pondok Pesantren, Surabaya: Perpustakaan Universitas Airlangga.


BRIN, A. P., 2022. Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren: Powerless Santri dan Urgensi Pendidikan Seksual Dalam Kurikulum Pesantren. LIPI. https://pmb.brin.go.id/kekerasan-seksual-di-pondok-pesantren-powerlessness-santri-dan-urgensi-pendidikan-seksual-dalam-kurikulum-pesantren/ [Accessed 7 Oktober 2022].


Kemal, 2022. Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual di Pesantren. UnimalNews. https://news.unimal.ac.id/index/single/3510/relasi-kuasa-dan-kekerasan-seksual-di-pesantren [Accessed 5 Oktober 2022].


Suyanto, B., 2022. Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual di Pesantren. Papuabaratnews.co. https://papuabaratnews.co/wacana/relasi-kuasa-dan-kekerasan-seksual-di-pesantren/ [Accessed 6 Oktober 2022].



Profil penulis:

Bunga Septiana Lestari, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2021 dan seorang mahasiswa yang tidak sengaja masuk ke dunia politik.


66 views0 comments

留言


    bottom of page