Kita semua mungkin sudah mendengar istilah "Politik Kambing Hitam" di berbagai sumber. Merujuk kepada KBBI, kambing hitam adalah orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan. Artian tersebut juga berlaku di dalam dunia politik, di mana, individu atau kelompok menyalahkan pihak yang tidak bersalah demi menjaga atau memperjuangkan kepentingannya. Sebagai contoh, PSSI dalam beberapa waktu lalu terlihat defensif ketika banyak pihak yang menyalahkan PSSI dalam tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu. PSSI terlihat menyalahkan pihak lain seperti Panpel Arema FC. Meskipun investigasi menyeluruh belum selesai, banyak pihak dan ahli menyebutkan PSSI berpotensi bersalah dalam peristiwa tersebut. Berdasarkan contoh tersebut, PSSI memainkan politik kambing hitam untuk menjaga kepentingan politisnya agar tetap memiliki citra yang baik. Namun, pertanyaannya adalah perlukah kita merawat si "kambing hitam" ini dalam politik?
Kambing Hitam dalam politik digunakan untuk membelokkan fakta atau realita politik yang terjadi agar opini publik terhadap individu atau kelompok yang menggunakan tetap baik. Penulis sempat melihat sebuah unggahan yang menyatakan bahwa "politik kambing hitam dan putih dapat digunakan berdasarkan situasi atau perkembangan politik tertentu". Penulis akui hal tersebut memang bisa digunakan oleh politisi atau entitas tertentu, but not in a good way. Penggunaan politik kambing hitam ini umumnya digunakan ketika terjadi suatu permasalahan yang dilakukan oleh politisi atau entitas lainnya. Atau, bisa juga digunakan dalam rangka untuk menyudutkan pihak tertentu agar bisa mendapatkan kepentingannya, seperti ketika Nazi yang menyalahkan Kaum Yahudi atas permasalahan yang terjadi di Eropa dan pada akhirnya berakhir dengan pengusiran Kaum Yahudi dari Eropa.
Menurut penulis, penggunaan metode politik kambing hitam ini menunjukkan inkapabilitas suatu kelompok atau individu dalam melaksanakan tugasnya sebagai politisi (apabila dilihat dari konteks politik). Alih-alih mempertanggungjawabkan kesalahannya dalam tugas, individu atau kelompok yang melakukan politik kambing hitam melimpahkan kesalahan tersebut kepada pihak lain yang sekiranya tidak bersalah. Melihat permasalahan ini, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan profesionalitas para politisi atau pejabat publik.
Profesionalitas yang dimaksud tidak hanya profesional dalam berpolitik saja, namun juga bidang-bidang tertentu yang ditekuni, misal sebagai regulator, ketua umum suatu lembaga dan lain-lain. Menurut Tantri Abeng, profesionalitas terdiri dari 3 hal, yakni pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan integritas (integrity) yang ketiganya tersebut harus dilakukan secara konsisten, dilandasi dengan iman yang kokoh, dan dipelajari terus menerus. Selain itu, profesionalisme bisa ditunjukkan dengan cara mendahulukan kepentingan orang secara luas dibandingkan kepentingan diri sendiri.
Kesimpulannya, politik kambing hitam menurut penulis tidak dapat dihalalkan penggunaannya. Kita sebagai manusia dapat menggunakan alternatif yang lebih positif alih-alih menggunakan metode kambing hitam dalam politik. Tulisan ini hanyalah sebuah pengingat buat para pembaca agar kita tetap lebih mengedepankan moralitas dalam berpolitik.
Referensi
Amin, Mohammad. 2020. Pengaruh Profesionalisme Aparatur Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Bidang Administrasi Pemerintahan. Public Policy: Jurnal Aplikasi Kebijakan Publik & Bisnis. Vol. 1 No. 2.
Haughton, Rosemary dan Nancy Schwoyer. 1995. Welfare Reform and National Scapegoating: The Politics of Fear. Wiley.
Profil Penulis
Muhammad Nadhif Kurnia, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya angkatan 2018 dan content writer and social media lead di Teras Politik
Comentarios