Pada saat mendengar Korea Utara, mungkin yang kamu bayangkan pertama kali adalah negara yang tertutup, kejam, arogan, dan pikiranmu juga mungkin akan langsung tertuju pada “komunisme”. Namun, ada beberapa fakta yang tidak sesuai dengan bayangan dan stereotipe masyarakat dunia. Korea Utara memang masih menjadi salah satu negara paling tertutup dan masih berseteru dengan tetangga terdekat mereka, Korea Selatan – tak jarang dengan Amerika Serikat – tetapi ada satu hal yang berubah: ideologi politik. Korea Utara tidak menganut komunisme, melainkan Juche Idea. Ideologi Juche merupakan buah pikir Kim Il-sung, kira-kira tercetus sejak 1912. Ideologi ini resmi menggantikan komunisme setelah revisi konstitusi tahun 1992-1998 (Zook, 2012).
Juche awalnya dianggap sebagai varian dari Marxisme–Leninisme sampai Kim Jong-il, putra dan penerus Kim Il-sung, menyatakannya sebagai ideologi yang berbeda pada 1970-an. Kim Jong-il juga mengembangkan Juche lebih lanjut pada 1980-an dan 1990-an dengan membuat terobosan ideologis dari Marxisme–Leninisme dan meningkatkan pentingnya gagasan ayahnya. Kim Jong-il telah membukukan pemikirannya terhadap Juche pada buku yang dia tulis pada tahun 1982, On the Juche Idea.
Juche memadukan ide-ide historical materialist Marxisme-Leninisme tetapi juga sangat menekankan individu, negara bangsa, dan kedaulatan nasional. Juche percaya bahwa suatu negara akan makmur setelah menjadi mandiri dan mencapai kemerdekaan politik, ekonomi, dan militer. Ketika Kim Jong-il muncul sebagai calon pengganti Kim Il-sung pada 1970-an, kesetiaan kepada pemimpin semakin ditekankan sebagai bagian penting dari Juche, seperti yang diungkapkan dalam Ten Principles for the Establishment of a Monolithic Ideological System.
Definisi dan Prinsip Dasar Juche
Juche hampir tidak pernah diterjemahkan pada penyebutannya dalam bahasa selain Korea. Namun, kalau harus diartikan, makna yang paling mendekati adalah berdikari. Setidaknya, itu merupakan dasar dari ideologi ini. Pemerintah Korea Utara dan Partai Buruh Korea menjadikan Juche sebagai pedoman hidup (kalau di Indonesia, Pancasila), dan identitas politik Korea Utara. Ideologi ini secara tidak langsung sudah diamalkan sejak era Kim Il-sung, tetapi praktik resminya baru diamalkan pada era Kim Jong-il.
Dalam wacana politik kontemporer Korea Utara, Juche memiliki makna kemandirian, otonomi, dan kemerdekaan. Namun, di sisi lain hal ini sering diartikan bertentangan dengan konsep Korea yaitu Sadae, atau ketergantungan pada kekuatan besar (Stewart et al., 1993). Ideologi ini secara resmi dikenal sebagai Juche sasang (주체사상) dalam bahasa Korea dan Juche Idea dalam bahasa Inggris. Juche sasang secara harfiah berarti "ide pokok" dan juga telah diterjemahkan sebagai pemikiran Jucheisme. Penganutnya terkadang disebut sebagai Jucheist (sebutan ini sangat jarang digunakan karena penganutnya yang terbatas di Korea Utara saja).
Tujuan utama Juche adalah untuk mendirikan negara mandiri yang secara independen menentukan urusan politik, ekonomi, dan militernya. Kim Il-sung meringkas penerapan tujuan ini ke Korea Utara dalam pidato tahun 1967 di Majelis Rakyat Tertinggi atau Supreme People's Assembly berjudul Let Us Embody the Revolutionary Spirit of Independence, Self-sustenance and Self-defense More Thoroughly in All Fields of State Activity (Lee, 2003). Berikut ringkasannya:
Pemerintah Korea Utara akan melaksanakan dengan sungguh-sungguh kemerdekaan, kemandirian, dan pembelaan diri untuk memantapkan kemerdekaan politik negara, membangun lebih kokoh lagi dasar-dasar perekonomian nasional yang mandiri, yang mampu menjamin persatuan, kemerdekaan, dan kemakmuran bangsa Korea Utara dan peningkatan kemampuan pertahanan negara, sehingga dapat menjaga keamanan tanah air secara andal dengan kekuatan sendiri, dengan mewujudkan ide partai tentang Juche di segala bidang.
Dari ringkasan pidato Kim Il-sung di atas, setidaknya ada tiga prinsip dasar Juche, di antaranya:
Kemerdekaan politik (jaju) adalah prinsip inti Juche. Juche menekankan kesetaraan dan saling menghormati antar-bangsa, menegaskan bahwa setiap negara memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Menyerah pada tekanan atau intervensi asing akan melanggar prinsip kemerdekaan politik dan mengancam kemampuan suatu negara untuk mempertahankan kedaulatannya (Lee, 2003). Namun tidak seperti yang kita duga, Juche tidak menganjurkan isolasi total dan mendorong kerja sama di antara negara-negara sosialis (Lee, 2003).
Kim Jong-il dalam On the Juche Idea menegaskan bahwa kemerdekaan tidak bertentangan dengan internasionalisme, tetapi justru merupakan salah satu dasar penguatannya (Kim, 1982). Ayahnya, Kim Il-sung, juga mengakui bahwa penting bagi Korea Utara untuk belajar dari negara-negara sosialis lainnya, khususnya Uni Soviet (saat itu) dan Tiongkok, tetapi bukan berarti harus mengikuti mereka secara dogmatis (Lee, 2003). Itulah mengapa Korea Utara tidak bisa disamakan dengan Tiongkok maupun Rusia.
Kemandirian ekonomi (jarip) diperlukan untuk mencapai kemandirian politik, menurut Juche. Kim Il-sung percaya bahwa bantuan asing yang berlebihan dapat mengancam kemampuan suatu negara untuk mengembangkan sosialisme, yang hanya dapat dibangun oleh negara dengan ekonomi yang kuat dan mandiri (Lee, 2003). Kim Jong-il dalam bukunya berpendapat bahwa sebuah negara hanya dapat mencapai swasembada ekonomi setelah menciptakan ekonomi nasional yang mandiri berdasarkan industri berat, karena sektor ini secara teoritis akan menggerakkan perekonomian lainnya. Kim Jong-il juga menekankan pentingnya kemandirian teknologi dan swasembada sumber daya. Namun, dia menyatakan bahwa hal tersebut tidak berarti mengesampingkan kerja sama ekonomi antara negara-negara sosialis (Kim, 1982).
Kemandirian militer (jawi) juga penting menurut Juche untuk mempertahankan kemandirian politiknya (Lee, 2003). Untuk mencapai kemandirian militer, negara harus mengembangkan industri pertahanan dalam negeri untuk menghindari ketergantungan pada pemasok senjata asing. Kim Jong-il berpendapat bahwa negara-negara sosialis dapat menerima bantuan militer dari sekutu mereka, tetapi bantuan semacam itu hanya akan efektif jika negara itu kuat secara militer dalam dirinya sendiri. Mungkin ini adalah salah satu alasan Korea Utara tampak terobsesi dengan rudal dan nuklir (Kim, 1982).
Juche sebagai Kuasi-agama
Suatu hari, saat saya sedang membaca artikel di Vox, sebuah tajuk pada bagian rekomendasi menarik perhatian saya. Tajuk itu berbunyi, Juche, the state ideology that makes North Koreans revere Kim Jong Un. Kemudian, saya mencoba mengingat cerpen Melodrama di Negeri Komunis dari antologi “Aku Kesepian, Sayang” “Datanglah Menjelang Kematian” karya Seno Gumira Ajidarma yang memuat cuplikan hidup di Korea Utara, meskipun kata “komunis” di situ rasanya tidak tepat – seharusnya Melodrama di Negeri Juche! Namun, sepertinya “komunis” pada judul itu menjadi sesuai ketika saya mencoba menerawang isi pikiran Seno soal Juche yang menurutnya tidak terlalu berbeda dengan Marxisme-Leninisme – setidaknya di cerpen tersebut.
Tentunya, saya tidak akan membahas sudut pandang Seno tentang ideologi politik Korea Utara. Saya lebih tertarik untuk membahas salah satu kritik terhadap ideologi ini. Juche telah dideskripsikan secara beragam oleh para kritikus sebagai kuasi-agama, ideologi nasionalis, dan penyimpangan dari Marxisme-Leninisme. Namun, yang membuat saya tertarik adalah bagaimana Juche dipandang sebagai kuasi-agama (seolah-olah agama).
Sejumlah cendekiawan telah menggambarkan Juche sebagai kuasi-agama (Myers, 2014) dan membandingkan aspek-aspeknya dengan agama-agama yang sudah ada sebelumnya di Korea. Terdapat unsur-unsur tertentu dari Kekristenan, Cheondoisme, dan Konfusianisme diapropriasi yang dimasukkan ke dalam Juche. Dalam buku Jucheism as an Apotheosis of the Family: The Case of the Arirang Festival karya Jung Hyang-jin, Antropolog budaya Korea, Byung Ho-chung, dan Heonik Kwon menyamakan “peringatan” Kim Il-sung dan Kim Jong-il dengan pemujaan leluhur Konfusianisme. Ju Jun-hui juga berpendapat bahwa perdukunan Korea juga mempengaruhi perkembangan Juche (Jung, 2013).
Salah satu perwujudan kuasi-agama dari Juche yang paling menonjol adalah pengultusan pemimpin sebagai “semacam tuhan” bagi rakyat. Misalnya, dilansir Vox, ribuan orang merayakan pernikahan mereka di depan patung pemimpin pertama Korea Utara, Kim Il-sung, sebagai semacam ritual semi-religius. Ada juga kepercayaan masyarakat bahwa Kim Jong-il adalah penemu hamburger (atau disebut "roti lapis dengan daging" di sana). Kemudian, di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, pemerintah Korea Utara mengklaim telah mengembangkan obat ajaib yang dapat menyembuhkan AIDS dan Ebola.
Juche tersebut mengajarkan bahwa peran seorang Supreme Leader (Pemimpin Besar) sangat penting bagi rakyat dalam gerakan revolusioner mereka, karena tanpa kepemimpinan yang layak, mereka tidak dapat bertahan (Helgesen, 1991). Ini adalah dasar dari kultus yang diarahkan pada Kim Il-sung. Kultus tersebut menjelaskan bagaimana ideologi Juche dapat bertahan hingga hari ini, bahkan mungkin selamanya jika doktrin terhadap rakyat masih cukup kuat. Konsep "pemimpin suci" dalam Juche di sekitar keluarga Kim bahkan dapat dibandingkan dengan ideologi Shinto Kekaisaran Jepang di mana Kaisar dipandang sebagai makhluk ilahi atau suci (Halpin, 2015). Dengan keyakinan fundamental terhadap peran penting Pemimpin Besar, Kim Il-sung adalah "dewa tertinggi bagi rakyat" Korea Utara.
Penekanan Juche pada peran politik dan pemujaan rakyat terhadap pemimpin telah dikritik oleh banyak intelektual. Mereka berpendapat bahwa kelas pekerja Korea Utara atau proletariat telah dilucuti kehormatannya dan oleh karena itu mereka menyebut kultus kepribadian sebagai non-marxis dan non-demokratis. Pada titik ini, Juche benar-benar telah membedakan diri dari Marxisme-Leninisme pada umumnya dan yang mereka anut pada awal pembentukan negara.
Juche telah bertransformasi dari pemikiran Kim Il-sung menjadi sebuah kuasi-agama (atau dalam kasus tertentu mungkin dianggap agama) yang dianut sebagai ideologi politik dan pedoman hidup masyarakat Korea Utara. Kalau sudah begini, rasanya sulit menyebut Korea Utara sebagai negara komunis.
Artikel ini bukanlah sebuah panduan untuk memahami Juche secara komprehensif. Namun, artikel ini dapat mengantarmu untuk mendalaminya. Kamu dapat membaca sumber bacaan yang lebih kaya. Jangan segan untuk menghubungi saya melalui Teras Politik jika ingin mendiskusikan topik ini. Terima kasih.
Sumber Bacaan
Kim, Jong-il (1982). On the Juche Idea. Pyongyang: Foreign Languages Publishing House.
Zook, Daren C. (2012). "Reforming North Korea: Law, Politics, and the Market Economy". Stanford Journal of International Law. 48 (1): 131–183.
Lone, Stewart; McCormack, Gavan (1993). Korea since 1850. Melbourne: Longman Cheshire.
Lee, Grace (2003). "The Political Philosophy of Juche". Stanford Journal of East Asian Affairs. 3 (1): 105–111.
Myers, B. R. ( 2014). "Western Academia and the Word Juche". Pacific Affairs. 87 (4): 779–789. doi:10.5509/2014874779.
Jung, Hyang Jin (2013). "Jucheism as an Apotheosis of the Family: The Case of the Arirang Festival". Journal of Korean Religions, North Korea and Religion. 4 (2).
Helgesen, Geir (1991). "Political Revolution in a Cultural Continuum: Preliminary Observations on the North Korean "Juche" Ideology with its Intrinsic Cult of Personality". Asian Perspectives. 15 (1).
Halpin, Dennis (19 Februari 2015). "North Korea's Kim family cult: Roots in Japanese state Shinto?". NK News. Archived.
Comments