**MENGANDUNG SPOILER**
Saya selalu berpikir bahwa kekuasaan adalah sebuah candu bagi setiap manusia, sekecil apapun kekuasaan tersebut. Kekuasaan selalu bisa berpotensi merusak, seperti yang Lord Acton katakan, apalagi jika kekuasaan itu dipegang oleh orang yang korup.
Kisah tentang kekuasaan yang membuat pemiliknya korup sudah dituturkan dalam banyak karya fiksi. Salah satu yang terkenal misalnya, Animal Farm, yang ditulis oleh George Orwell. Saya juga sudah pernah mengulasnya di Teras Politik. Pada dekade 2020-an saya menemukannya pada film garapan Ruben Östlund yang berjudul Triangle of Sadness, saat karakter Abigail diberi kekuasaan. Kisah-kisah ini secara langsung atau tidak langsung mengamini bahwa kekuasaan dalam berbagai bentuk dan kadar adalah sebuah candu bagi pemiliknya.
Di artikel ini, saya akan membahas soal kekuasaan dan hal-hal di sekitarnya melalui pengkajian terhadap film debut sutradara Makbul Mubarak yang berjudul Autobiography. Film ini telah mengarungi berbagai festival film dunia dan meraih berbagai penghargaan bergengsi, yang patut kita rayakan bersama. Namun saya tidak akan membahas itu. Saya lebih tertarik dengan diskursus yang ditawarkan.
Autobiography menawarkan berbagai isu dalam sebuah kisah relasi antara majikan dan pembantu. Beberapa isu yang cukup menarik untuk dibahas adalah relasi bapakisme dan paternalisme yang kental serta ekses dari kekuasaan militer Orde Baru yang mengakar. Saya akan berusaha untuk membahasnya secara sederhana dan serapi mungkin.
Pertama-tama, saya ingin mengapresiasi Makbul Mubarak terlebih dahulu, yang pada film debutnya mampu menelurkan sebuah karya yang “komplit”. Film ini sangat kaya secara naratif, ada banyak lapisan yang bisa kita kuliti dari naskahnya. Selain itu, film ini dieksekusi secara brilian dan menghasilkan karya yang tidak hanya thoughtful, melainkan juga enak dilihat.
Film Autobiography menceritakan tentang Rakib (Kevin Ardilova) yang bekerja di rumah seorang purnawirawan militer bernama Purna (Arswendy Bening Swara) setelah ayahnya masuk penjara. Rakib sebagai bungsu, mau tidak mau, harus meneruskan “warisan” keluarganya sebagai pembantu di rumah Purna. Namun hubungan majikan-pembantu ini tidak seperti yang pada umumnya orang bayangkan. Purna menganggap Rakib seperti anaknya sendiri, dan Rakib juga diharapkan akan menganggap Purna sebagai ayahnya. Namun tidak mudah bagi Rakib untuk menghadapi polah Purna, seorang sosok yang narsis dan enigmatis.
Rasa takjub saya menyelimuti saat menyaksikan sebuah kisah sederhana tentang hubungan antara majikan dan asisten rumah tangga, yang dibawakan oleh Makbul Mubarak melalui Purna dan Rakib, menjadi sebuah cerita yang mencekam dan intens.
Cerita Rakib dan Purna berkembang dengan perlahan menjadi alegori yang bermakna dalam, menyentuh berbagai sisi, hingga akhirnya menimbulkan ketakutan yang menyeramkan di pikiran saya. Dengan pendekatan yang sama sekali tidak rumit, Makbul Mubarak berhasil menggambarkan trauma yang familier bagi sebagian besar rakyat Indonesia melalui perjalanan Rakib menjadi pembantu utama Purna, mantan jenderal yang maju mencalonkan diri sebagai bupati di daerahnya.
Relasi Rakib dan Purna menurut saya adalah relasi bapakisme, yang menggambarkan hubungan pemimpin dan bawahannya sebagai sebuah keluarga, bapak dan anak. Purna tak menempatkan diri sebagai majikan, melainkan sebagai seorang ayah bagi Rakib. Makbul berhasil mempertontonkan gambaran itu dengan sangat baik melalui satu adegan ke adegan lain. Tak hanya itu, sutradara asal Palu ini juga mampu menjahitnya menjadi sebuah tontonan yang mencekam meskipun tak ada hantu.
Pada masanya, Soeharto juga menggunakan gaya kepemimpinan bapakisme di bawah rezim Orde Baru. Sebagai kepala keluarga, dia mencerminkan ideologi patriarki dan paternalisme dengan memimpin, menafkahi, dan melindungi masyarakatnya, dia adalah “bapak”. Oleh karena itu, dia membayangkan masyarakatnya sebagai anak-anak yang harus mematuhi dan menghormati dirinya sebagai bapak.
Perkenalan Rakib dengan Purna pun berjalan dengan sunyi dan relatif lambat. Melalui mata Rakib, Purna terlihat sebagai sosok penuh wibawa yang bisa memberi rasa aman serta hak-hak istimewa bagi pengikutnya, sampai mereka menaati apa yang diinginkan jenderal tersebut. Di tengah-tengah rasa aman dan kesunyian itu, saya merasakan kecemasan dan perasaan yang aneh. Makbul seakan memberi petunjuk untuk sesuatu yang jauh lebih besar dan gelap dari sosok Purna.
Perlahan, kejanggalan-kejanggalan itu mulai terasa nyata, terutama ketika Rakib menyaksikan “bapak”-nya itu melenyapkan nyawa Agus hanya karena dia merusak baliho kampanye miliknya. Kisah bapak-anak ini berubah menjadi sebuah kisah penyanderaan, dan Rakib berusaha untuk terlepas darinya. Namun, kekuasaan Purna pada akhirnya bisa menahannya.
Dalam waktu yang singkat, Purna berubah menjadi monster dan neraka bagi Rakib. Padahal sebelumnya, Rakib sempat merasa kalau dirinya cukup beruntung karena mendapatkan hak istimewa dari sang jenderal.
Makbul menggambarkan betapa berbahaya suatu kekuasaan jika dipegang oleh orang yang salah. Hal ini terlihat dalam adegan Purna memandikan Rakib, yang menunjukkan kuasa dan kontrol yang dimilikinya, yang mencapai ke tingkat pribadi. Bahkan, kalau pun kekuasaan itu dimiliki oleh orang yang jauh lebih baik dari Purna, tidak semata menjadikannya suci.
Kembali lagi kepada apa yang dikatakan Lord Acton, “Power tends to corrupt…” Di film ini misalnya, dapat dilihat dari bagaimana Rakib menggunakan hak istimewanya untuk menjemput paksa Agus dan menyuruhnya melakukan hal-hal merendahkan — dalam film ini Agus disuruh mengambil kerikil yang mengganggu pijakan kaki Rakib. Rakib yang sejak awal tidak menunjukkan tanda-tanda rusak sekali pun, ketika dibiarkan mencicipi kekuasaan oleh Purna, pada akhirnya rusak juga.
Kemudian, pada babak ketiga film, kita dapat melihat upaya pembebasan diri yang dilakukan Rakib sebagai upaya sebuah generasi untuk memutus rantai setan generasi sebelumnya. Saya melihatnya seperti para aktivis yang menuntut Soeharto turun karena sudah terlalu rusak. Sebenarnya tidak bisa disamakan begitu saja, tetapi intensi Rakib bisa dibilang mirip dengan para aktivis yang jengah melihat kebobrokan Orde Baru kala itu.
Autobiography jelas merupakan cerminan dari kondisi sosial-politik di Indonesia dari masa ke masa. Bahkan hingga kini, semangat bapakisme itu masih ada. Gaya kepemimpinan semacam ini memanipulasi relasi yang sebetulnya transaksional menjadi semacam kedekatan personal, sehingga profesionalitas kerap dikesampingkan. Terkadang, kasus seperti Purna, pensiunan tentara yang masih bisa mengontrol tentara alias post-power syndrome, di berbagai bidang masih sering ditemukan.
Selain menyinggung banyak soal bapakisme, film ini juga banyak berbicara soal dampak militerisme era Orde Baru yang mengakar hingga kini. Polah Purna yang narsistik dan represif ini tidak jauh berbeda dengan apa yang Soeharto lakukan dulu. Pada masa kini, terdapat fenomena di mana anggota militer dan kepolisian merasa lebih superior daripada “orang biasa”, warganet kerap menyebutnya “Kaum Halodek” atau “Orang Berseragam”. Pada beberapa kasus, sebagian dari kaum ini hanya terlampau narsis, tetapi tidak dapat dimungkiri kalau kasus kekerasan juga terjadi akibat superioritas buta ini.
Penonton akan merasa akrab dengan tindakan represif Purna, seperti strategi tertutup yang dilangsungkannya untuk menggunakan kekerasan terhadap Agus. Sementara tidak satu pun orang tahu—selain Rakib—bahwa Purna adalah dalangnya, warga malah menduga kematian Agus berkaitan dengan sengketa lahan kopi milik ibunya. Hal tersebut membuat penonton, atau setidaknya saya, teringat Gerakan 30 September (G30S) dan pelanggaran HAM berat setelahnya. Pemerintah di bawah komando Soeharto melakukan penculikan, penangkapan, dan penyiksaan terhadap sipil yang dianggap berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia dan ideologi komunisme. Meskipun pemerintah Indonesia menuding rakyat yang marah terhadap komunis sebagai pelaku di balik kekerasan, aktor penggeraknya tidak lain adalah negara itu sendiri.
Autobiography sebagai sebuah keseluruhan menjadi sebuah linimasa kondisi sosial-politik Indonesia yang, tidak bisa dimungkiri, menyedihkan. Peristiwa demi peristiwa yang menjadi sejarah kelam dirangkum dalam kurang lebih dua jam durasi film. Sebagian penonton menafsirkan judul film ini sebagai autobiografi sebuah bangsa, dan sebagian yang lain melihatnya sebagai kisah biopik dari sosok kelam bagi bangsa ini, yang sejak tadi saya bicarakan.
Makbul dengan brilian meramu isu-isu di atas dengan peralatan fiksi seperti satire, alegori, dan oksimoron, dengan hasil yang sama sekali tidak sulit untuk dikunyah. Bagi kamu yang tertarik dengan isu-isu di atas, maka film ini cocok untukmu. Film Autobiography bagi saya merupakan karya yang penting untuk ditonton, dibaca, dan direnungi. Sekian.
Berikut adalah bacaan ringan tentang bapakisme yang dapat kamu baca:
Republik Bapakisme Versus Suara Malin Kundang (Ischo Frendino, The Columnist). Tautan: https://thecolumnist.id/artikel/republik-bapakisme-versus-suara-malin-kundang-798
Birokrasi Patronasi dan Kasus Brigadir Yosua (Aristo Pangaribuan, Hukum Online). Tautan: https://www.hukumonline.com/berita/a/birokrasi-patronasi-dan-kasus-brigadir-yosua-lt631e915271916?page=all
Bapakisme Pendidikan (Ayu Lestari, Identitas Unhas). Tautan: https://identitasunhas.com/bapakisme-pendidikan/
Hari Anak Nasional, Soeharto, dan Bapakisme Negara Orde Baru (Husein Abdulsalam, Tirto ID). Tautan: https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://amp.tirto.id/hari-anak-nasional-soeharto-dan-bapakisme-negara-orde-baru-cPBl&ved=2ahUKEwjr_fftkZX9AhX443MBHbikCGUQFnoECBUQAQ&usg=AOvVaw29ECDfS4InIqMF8RVXRD35
Comments